Praktikum ke-11 Hari/tanggal : Senin, 6 April 2013
MK Sosiologi Umum (KPM
130) Ruangan : 2.13
PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN: DARI REVOLUSI HIJAU
KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
STUDI ETNOEKOLOGI DI KALANGAN ORANG BIBOKI
Yohanes Gabriel Amsikan
Iis Setiana/G34120092
Asisten :
1. Bernardine Anita W. / F24090072
2. Pamila Adhi Annisa / I14100064
Resume bacaan 1
Sejak 1960an kebijakan pertanian yang
dilancarkan pemerintah lebih mengarah pada intensifikasi sistem pertanian
pangan. Revolusi
hijau -program yang
mengintensifikasikan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk
kimia serta jaringan irigasi- adalah contoh kasus yang sering
dibahas dan di kritik oleh banyak kalangan. Tahun 1984 Indonesia telah berhasil
melakukan swaembada beras. Berselang sepuluh tahun setelah keberhasilan itu,
justru Indonesia kembali menjadi negara mengimpor beras. Revolusi hijau mempu
mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro saja telah menimbulkan berbagai masalah, yakni
aspek ekologis, sosio ekonomi dan budaya. Sampai saat ini, persoalan beras masih terus menyita banyak perhatian,
sehingga menyisihkan potensi sumber daya yang lain. Begitu banyaknya perhatian, dana, upaya penelitian dan pengadaan
sarana pertanian yang diserap untuk menyukseskan aneka revolusi monokultur,
maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengambangan, dan
perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal.
Konversi lahan merupakan masalah yang
mendasar. Investasi yang besar untuk mensukseskan revolusi hijau tidak diiringi
dengan kebijakan yang menyeluruh di bidang pertanian terutama dalam
mempertahankan luas lahan pertanian. Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang
pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani, terutama petani
padi. Hal ini terjadi karena pemabangunan pertanian gagal dikaitkan dengan
pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil.
Situai politik di Indonesia mengalami perubahan secara drastis sejak tahun 1997.
Realita di lapangan menunjukkan sangat sedikit teknologi pertanian yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian. Metode SRI ( System Of Rice Intensification) merupakan sebuah teknologi
berkelanjutan yang menguntungkan petani karena memberikan hasill produksi lebih
tinggi. Metode SRI memberikan
keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan mutu tanah sebgai dampak
berkurangnya pemakaian pupuk atau pestisida kimia. Teknik
yang digunakan dalam SRI adalah dengan memperlebar jarak tanam sehingga
penyerapan unsure hara oleh akar merata kepada seluruh tanaman. Pada tahun 2004, semakin banyak petani kecil di
Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolutioner dalam
bercocok tanam padi.
Resume bacaan 2
Wilayah Biboki merupakan daerah
sabana, padang rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat.
Keadaan ini membuat masyarakat di wilayah Biboki menggantungkan mata
pencahariannya pada aspek pertanian. Daerah sabana dahulunya merupakan hutan
yang di bakar dan kini menjadi gundul. Menyusul timbulnya padang sabana, secara
perlahan dikembangkan sistem pertanian baru, yaitu perladangan sistem balik
tanah dengan menggunakan peralatan tradisional. Perubahan lingkungan tersebut
tidak ditanggapi secara negatif oleh masyarakat Boboki karena mereka memiliki
strategi dan kriteria tersendiri mengenai lingkungan yang kaya dan baik. Tiadak
dipungkiri bahwa lingkungan memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pembentukan
sebuah kebudayaan. Kebudayaan masyarakat terbentuk karena hubungan mereka
dengan alam sekitar. Pertambahan atau kerusakan alam sekitar dapat mengubah
kebudayaan. Aktivitas penggalian pengetahuan ekologi masyarakat petani,
khususnya di kalangan orang Biboki memiliki implikasi positif dan strategis
terhadap pemeliharaan lingkungan hidup.
Dipandang dari aspek mata
pencahariannya, pekerjaan orang Biboki hampir seluruhnya adalah kegiatan di
bidang pertanian. Salah satu kekhasan pertanian orang Biboki adalah perladangan
berpindah (swidden agriculture) suatu gaya bertani yang masih khas orang di
wilayah tropis. Untuk mempertahankan sebidang tanah, masyarakat sering harus
mengorbankan diri, meneteskan darahnya bahkan nyawa sekali pun.Orang Biboki
juga masih memegang teguh kebenaran-kebenaran yang dikisahkan turun temurun
melalui mitos-mitos. Sebagaimana sudah dikemukakan bahwa hutan sabana yang
diturun-tangani masyarakat Biboki, justru berkembang menjadi semakin gundul,
maka hal ini memberikan suatu gambaran baru kepada mereka bahwa suatu pola
adaptasi dan perubahan strategi pertanian harus dilakukan. Beberapa tahun
terakhir, pemerintah mengeluarkan program relaksasi pemukiman penduduk dan
sejumlah larangan seperti larangan membuka hutan, larangan berburu, dan
larangan mengembangkan ternak secara bebas. Akan tetapi, dipihak lain
masyarakat yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan pertanian
menganggap hal ini sebagai perbuatan yang kurang bijaksana, sebab mereka merasa
tercabut dari lingkungannya. Adanya perbedaan besar antara masyarakat Biboki
dan pemerintah dalam hal perubahan lingkungan, pada gilirannya menimbulkan
sikap dan tindakan yang bertentangan pula.
Lingkungan alam seperti tanah,
hutan dan air perlu dijaga agar tetap memberikan hasil yang memadai setiap kali
diolah. Masyarakat Biboki memiliki pola perilaku yang berbeda, karena pemahaman
yang berbeda dengan pemerinah mengeni lingkungan. Bagi pemerintah, tanah yang
masih banyak belukar atau hutannya, berguna menjaga kesuburan tanah dan menjadi
tempat berlindung marga satwa, sedangkan bagi masyarakat Biboki selama tanah
masih memberikan rejeki kepada mereka, meraka yakin keadaan tanah masih baik
dan layak huni. Himbauan-himbauan untuk melestarikan alam gagal ditanggapi oleh
orang Biboki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar